oleh

Desa, Uang, dan Kekuasaan: Siapa Mengatur Siapa?

-Opini-52 views

Desa, Uang, dan Kekuasaan: Siapa Mengatur Siapa?

Oleh : Bachtiar S. Malawat

Penasehat Pusat Study Mahasiswa Loid

Desa, dalam bayangan besar bangsa ini, adalah tempat di mana kedaulatan rakyat hidup dalam bentuk paling konkret. Di desa, masyarakat mengenal nilai-nilai gotong royong, musyawarah, dan kekeluargaan. Namun, ketika desa menjadi subjek perebutan kekuasaan oleh para elit politik, semua nilai itu bisa hancur dalam sekejap.

Kasus Desa Loid di Bacan Barat Utara, Halmahera Selatan, Maluku Utara adalah cermin menyakitkan dari proses politisasi desa yang berlebihan. Sebuah Pilkades yang seharusnya menjadi ruang demokrasi lokal, malah berubah menjadi titik awal dari perpecahan sosial yang tajam. Lebih dari sekadar konflik elektoral, masyarakat Loid kini terbagi dalam dua blok yang nyaris tak bisa lagi duduk bersama.

Tulisan ini mencoba mengurai kompleksitas masalah tersebut dengan fokus pada tiga hal utama: kekuasaan, uang, dan aktor-aktor eksternal yang bermain dalam ruang-ruang desa.

Ketika Pilkades Menjadi Perang Delegasi Politik Kabupaten

Pemilihan kepala desa bukan hal baru bagi masyarakat Loid. Tapi Pilkades terakhir membawa dinamika yang berbeda. Dua calon kuat yang maju tidak hanya bersandar pada kekuatan basis lokal, tapi juga masing-masing membawa dukungan politik dari tokoh-tokoh kabupaten.

Dari titik ini saja, terlihat jelas bahwa Pilkades telah dijadikan perpanjangan tangan pertarungan elit. Desa bukan lagi ruang politik otonom, melainkan satelit dari konflik kekuasaan di level atas.

Ketika kontestasi politik menjadi begitu personal dan ideologis, masyarakat tak hanya memilih calon kepala desa. Mereka memilih posisi politik.

Di Loid, kubu pendukung masing-masing calon kepala desa tidak hanya terbentuk karena hubungan kekeluargaan atau program kerja, tetapi karena “ikatan politik luar”. Masyarakat menjadi korban dari strategi adu domba yang dilancarkan elit di luar desa.

Setelah Pilkades usai, masyarakat tidak kembali seperti semula. Tak ada rekonsiliasi. Dua kelompok itu terus bersitegang: dalam aktivitas sosial, dalam hajatan keluarga, bahkan dalam aktivitas ibadah. Segala sesuatu menjadi politis. Dan ketika ruang sosial sudah dikuasai sentimen politik, desa berhenti berfungsi sebagai komunitas.

Apa yang membuat elit kabupaten begitu berminat terhadap siapa yang akan memimpin sebuah desa kecil seperti Loid? Jawabannya sederhana: uang dan pengaruh.

Dengan alokasi Dana Desa yang terus meningkat setiap tahun, kepala desa bukan hanya pemimpin administratif, tapi juga “pengelola anggaran” miliaran rupiah. Maka, menjadi penting bagi para politisi untuk memastikan bahwa orang yang duduk di kursi kepala desa adalah orang mereka.

Sengketa Pilkades dan Manuver Kekuasaan

Ketika hasil Pilkades diumumkan dan salah satu kubu merasa dicurangi, konflik pun berlanjut ke meja birokrasi. Sayangnya, proses penyelesaian tidak dilakukan secara adil dan transparan.

Adu kekuatan antara elit pendukung calon kepala desa berlanjut di tingkat kabupaten. Lobi-lobi dilakukan secara intensif. Alih-alih menyelesaikan konflik, pemerintah kabupaten justru menjadi bagian dari masalah.

Sengketa jabatan kepala desa terjadi, yang meneng di pemilihan kepala desa terpaksa kalah di kabupaten akibat pengaruh elite.

Selama berbulan-bulan setelah Pilkades, Desa Loid berada dalam situasi vakum kepemimpinan. Warga bingung, aparat desa terpecah, dan pelayanan publik menjadi kacau. Program pembangunan mandek, rapat desa tidak lagi terlihat, dan kegiatan sosial tidak lagi inklusif.

Dalam jangka panjang, krisis legitimasi ini berdampak buruk terhadap kepercayaan publik terhadap demokrasi. Banyak warga yang mengaku tidak lagi akan berpartisipasi dalam Pilkades berikutnya. Mereka muak karena suara rakyat tidak menentukan hasil, tapi siapa yang lebih kuat di belakang layar.

Maluku Utara, dan khususnya desa-desa di Bacan, memiliki tradisi sosial yang sangat kuat: pela, gandong, musyawarah, dan saling menjaga. Tapi dalam kasus Desa Loid, semua nilai itu tergerus oleh permainan elit yang tak peduli pada akar budaya lokal.

Senior-senior politik yang harusnya menjadi penengah, justru menjadi pemantik konflik. Mereka bukan lagi panutan moral, melainkan aktor politik aktif yang menggunakan pengaruh sosialnya untuk memecah belah.

Kehadiran mereka tidak lagi menenangkan, tapi menegangkan. Warga merasa dimobilisasi, bukan diajak berpikir. Bahkan ada laporan bahwa beberapa tokoh senior secara aktif menyebarkan narasi kebencian dan membenturkan dua pihak agar konflik terus hidup.

Inilah tragedi terbesar: ketika desa tidak hanya kehilangan kepala desanya, tetapi juga kehilangan akarnya sebagai komunitas budaya.

Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan “siapa mengatur siapa?” menjadi penting.

Apakah masyarakat benar-benar mengatur jalannya pemerintahan desa? Tidak. Apakah kepala desa bebas mengelola wilayahnya? Juga tidak.

Yang terjadi adalah kontrol vertikal yang menggurita. Elit kabupaten, mantan pejabat, dan politisi aktif mengatur siapa yang boleh mencalonkan diri, siapa yang boleh menang, dan siapa yang akhirnya memimpin meski tanpa legitimasi rakyat.

Desa tidak berdaulat. Masyarakat hanya menjadi pion. Kepala desa hanya menjadi perpanjangan tangan. Dan uang menjadi bahan bakar dari seluruh permainan ini.

Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Beberapa langkah mendesak yang bisa menjadi agenda perjuangan adalah: 1. Revisi Mekanisme Pilkades: Harus ada pembatasan ketat terhadap intervensi eksternal, termasuk keharusan laporan dana kampanye dan larangan keterlibatan politisi aktif. 2. Penguatan Peran Lembaga Adat: Lembaga-lembaga adat harus diberi ruang legal dan politik untuk menjadi penyeimbang dalam konflik. 3. Pendidikan Politik Partisipatif: Warga harus diajak memahami politik sebagai alat perjuangan bersama, bukan hanya perebutan kursi.

Kasus Desa Loid mengingatkan kita bahwa demokrasi desa sangat rentan jika dibiarkan tanpa pagar nilai dan mekanisme kontrol. Ketika kekuasaan, uang, dan elit luar mencengkeram desa, maka rakyat hanya menjadi penonton dalam proses yang seharusnya milik mereka.

Desa tidak boleh menjadi satelit kekuasaan. Desa adalah tempat lahirnya demokrasi sejati. Jika kita ingin membangun negara yang kuat dari pinggiran, maka kedaulatan desa harus dikembalikan ke tangan warga desa sendiri.

Dan itu hanya mungkin jika warga bangkit dan melawan segala bentuk intervensi yang merusak martabat mereka sebagai komunitas yang berdaulat.

 

Iklan Ramadhan PT CIMENDANG KONTRAKINDO
iKLAN
Iklan Bahalil Mentri ESDM RI
Iklan
Iklan
Iklan
iklan

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed