LABUHA, Malutline – Kasus Dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Saruma Sejahtera Tahun 2020 yang menyeret banyak pihak terungkap fakta baru yakni dugaan keterlibatan  pihak eksternal Bank BPRS memiliki motif dan kepentingan apa sehingga ada pihak eksternal  juga turut serta mengembalikan uang puluhan miliar pada kasus kredit macet bank BPRS yang di duga kuat demi  mendapatkan proyek.

Data yang diperoleh Media Malutline, proses pengembalian kerugian keuangan BPRS oleh pihak eksternal dilakukan di Jakarta, Bahkan pengembalian kerugian negara yang dilakukan F,A bukan Rp 10 Miliar melainkan Rp10,6 miliar tanpa melalui rapat resmi pihak Bank BPRS Saruma Sejahtera.

Kontraktor ternama di Halmahera Selatan berinisial FA mentransfer dari bank mandiri ke rekening semua Perusahan yang dijaminkan debitur Saudara Leny Lutfi, Kasus yang diduga menyeret mantan direktur utama BPRS Ichwan Rahmat, anggota direksi Rustam Mohdar dan komisaris Muchlis Sangaji serta Leny Lutfi selaku Debitur.

Tidak hanya itu, dua pejabat Pemkab Halsel juga diduga ikut terlibat dalam skandal kasus Bank BPRS yaitu Saiful Turuy selaku mantan Sekda, Aswin Adam mantan Kepala BPKAD Keduanya diketahui selaku pemegang saham pengendali di BPRS Saruma Sejahterah kala itu, Bahkan sampai saat ini kurang lebih Rp 5 miliar belum dikembalikan, tetapi anehnya BPKP mengeluarkan surat adanya pemulihan kerugiaan keuangan negara senilai Rp 15 Miliar.

Sementara untuk status kasus BPRS Sejahtera telah ditingkatkan ke tahap penyidikan pada September 2023 oleh Kejari setelah menemukan dua alat bukti yang cukup, Untuk Perusahan yang diduga dijaminkan ke Bank BPRS Saruma Sejahtera pada tahun 2021 kurang lebih  8  yaitu PT BUMN, CV KBR, CV MTS, CV KICB, CV Q, PT BIP, dan Saudari WS saat ini pembiayaannya dinyatakan macet oleh BPRS Sarumah sejahterah Halmahera Selatan, dengan nominal pembiayaan sejumlah  Rp. 15.341.487.102,86

Adapun Pembiayaan/kredit tersebut diajukan oleh 1 pihak yang bernama Saudari LS group selaku Direktur dan Komisaris pada PT. BUMN dan  PT. BIP Terkait hal itu, FA saat di dikonfirmasi oleh sejumlah wartawan menyampaikan pihaknya mengembalikan bukan Rp 10 Miliar melainkan 10,6 Miliar “Sebenarnya sih saya bantu, Rp 10,6 Miliar bukan Rp 10 Miliar,”Singkat FA, akui F.A saat di konfirmasi wartawan.

Bukti pengembalian kerugian negara atas kredit macet yang di lakukan oleh pihak eksternal masing-masing F,A  atas dasar apa pihak eksternal antara FA, dapat mengembalikan kerugian negara atas kredit macet tersebut sehingga pihak eksternal  juga putut di tetapkan sebagai tersangka, bahkan  F.A sudah beberapa kali di panggil oleh penyidik kejaksaan negeri Labuha untuk di mintai keterangan sebagai saksi.

Berlarutnya proses hukum kredit macet Bank BPRS membuat Saldo kredit macet Bank BPRS terganjal di meja Kajari Halsel” sehingga penetapan tersangka atas kasus tersebut hingga kini tidak ada titik terang membuat tanda tanya besar di kalangan masyarakat Halmahera Selatan Karena belum ada pihak yang terlibat atas kasus tersebut baik itu pihak internal maupun eksternal yang di tetapkan sebagai tersangka.

Sementara sesuai data yang di himpun media ini dari sumber terpercaya wartawan ini menyebutkan sudah ada 4 orang yang sudah di tetapkan sebagai tersangka atas kasus tersebut yakni, tersangka berinsial LL, AA, RM. ST, yang sudah di tetapkan sebagai tersangka namun hingga berita ini di publish Kejari Halsel masih dalam upaya konfirmasi wartawan. (Red)

HALSEL,Malutline – Dugaan skandal korupsi dana beasiswa mengguncang Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Alkhairaat di Labuha. Rektor kampus bersama Direktur Bank Syariah Indonesia (BSI) diduga mencairkan dana beasiswa secara ilegal. Proses pencairan ini dilakukan tanpa prosedur resmi dan tanpa sepengetahuan bendahara kampus.

Rektor STAI Alkhairaat dan Direktur Bank BSI menjadi pihak yang disorot dalam dugaan kasus ini. Mantan bendahara kampus mengungkapkan bahwa pencairan dana dilakukan tanpa persetujuannya, meskipun rekening kampus seharusnya berada di bawah pengawasannya. Direktur Bank BSI, yang diduga memberikan izin pencairan atas permintaan rektor, hingga kini memilih bungkam.

Pencairan dana ini terjadi sepanjang tahun 2024, dengan total nilai mencapai Rp460 juta. Pencairan terbesar terjadi dalam dua tahap: Rp200 juta untuk pembayaran gaji dosen dan Rp260 juta untuk keperluan studi banding. Kedua pencairan tersebut dilakukan dengan klaim kebutuhan mendesak oleh rektor.

Kasus ini berpusat di STAI Alkhairaat Labuha, dengan Bank Syariah Indonesia sebagai mitra perbankan yang memproses pencairan dana beasiswa kampus tersebut.

Menurut mantan bendahara, pencairan dana dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang berlaku. Dugaan kolusi antara rektor dan pihak bank memungkinkan dana dicairkan tanpa persetujuan resmi. Rektor berdalih bahwa dana tersebut digunakan untuk kebutuhan mendesak, namun pelanggaran aturan tetap terjadi.

Yayasan kampus telah mengambil langkah untuk memblokir rekening kampus guna mencegah kerugian lebih lanjut. Sementara itu, desakan dari masyarakat dan mahasiswa agar kasus ini diusut tuntas terus menguat. Dampak langsung dari skandal ini sangat dirasakan oleh mahasiswa yang kehilangan hak mereka atas dana beasiswa. Hingga saat ini, penegak hukum diharapkan dapat segera mengungkap kebenaran di balik skandal ini dan menindak tegas pihak yang terbukti bersalah.

Kasus ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas pengelolaan dana publik. Apakah hukum akan berpihak pada keadilan, ataukah kasus ini akan tenggelam seperti banyak skandal lainnya? Waktu yang akan menjawabnya. (Red)

JAKARTA,Malutline – Dugaan korupsi Dana Desa yang dilakukan oleh Kepala Desa Tapa, Ferdinan Malaku, mencuat ke publik setelah organisasi mahasiswa asal Obi, PMPKO (Perhimpunan Mahasiswa dan Pelajar Kecamatan Obi), mendesak Bupati Halmahera Selatan, Bassam Kasuba, untuk segera mencopotnya dari jabatan. Dugaan ini muncul karena tidak adanya pembangunan yang memadai di Desa Tapa sejak 2019 hingga 2024, meskipun Dana Desa telah dikucurkan oleh pemerintah pusat.

Saudara Ferdinan Malaku diduga tidak transparan dalam mengelola Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD). Selama satu periode menjabat, tidak ada satu pun pembangunan yang signifikan di desa tersebut. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Desa Tapa. Mereka mengeluhkan buruknya infrastruktur desa yang hingga kini tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah desa.

Ketua PMPKO Jakarta,  Rolis, menyatakan bahwa tindakan Ferdinan Malaku bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 82 dan 86 yang mengatur pentingnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan desa. Selain itu, dugaan penyelewengan Dana Desa dinilai melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik.

“Kami mendesak inspektorat untuk segera memeriksa kepala desa dan meminta Bupati untuk mencopot Ferdinan dari jabatannya. Jika tidak ada tanggapan, kami siap membawa masalah ini ke Kementerian Desa dan KPK,” tegas Rolis.

Dugaan ini mulai mencuat sejak beberapa masyarakat setempat menyampaikan keluhan kepada PMPKO. Mereka menilai penggunaan Dana Desa tidak sesuai dengan peruntukannya, karena selama lima tahun terakhir tidak ada pembangunan yang terlihat. Padahal, Dana Desa seharusnya digunakan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Masalah ini terjadi di Desa Tapa, Kecamatan Obi Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Desa ini diketahui memiliki kondisi infrastruktur yang buruk, yang semakin memperkuat dugaan bahwa anggaran Dana Desa tidak digunakan sesuai tujuan.

Dana Desa merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan menjadi salah satu program prioritas pemerintah untuk membangun desa. Dana ini dirancang untuk memajukan desa melalui pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, dan pengentasan kemiskinan. Namun, jika pengelolaannya tidak transparan, tujuan besar ini akan sulit tercapai.

PMPKO meminta Bupati Bassam Kasuba untuk mengambil tindakan tegas dengan mencopot Ferdinan dari jabatan Kepala Desa Tapa. Selain itu, inspektorat diminta untuk segera mengaudit penggunaan Dana Desa selama masa jabatan Ferdinan. Apabila tidak ada langkah konkret dari pemerintah kabupaten, PMPKO berencana membawa kasus ini ke Kementerian Desa dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Masyarakat Desa Tapa berharap pemerintah desa lebih transparan dalam mengelola anggaran Dana Desa. Mereka juga mendesak adanya percepatan pembangunan infrastruktur yang selama ini terbengkalai.

“Jangan sampai anggaran ini hanya masuk ke kantong pribadi. Dana Desa harus digunakan untuk kepentingan masyarakat,” kata salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.

Kasus dugaan korupsi Dana Desa di Desa Tapa menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pemerintah. Jika tidak segera ditangani, hal ini dapat mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa dan menghambat pembangunan yang telah direncanakan. (Red)

HALSEL,Malutline – Ketua Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI PC PMII) Halmahera Selatan, Dini Andriani Muhammad, menyampaikan keprihatinannya terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual di wilayah tersebut. Menurutnya, fenomena ini mencerminkan bahwa pelaku kekerasan tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, sehingga mereka tidak merasa jera untuk mengulangi perbuatannya.

“Kasus kekerasan yang kian meningkat dari tahun ke tahun ini mencerminkan bahwa pelaku-pelaku kekerasan tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Hal ini membuat predator kekerasan di luar sana tidak merasa takut untuk melakukan tindakan serupa,” ujar Dini dalam pernyataannya, Sabtu,18/1/2025.

Dini juga menyoroti peran Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) dalam menangani masalah ini. Ia menilai bahwa langkah yang diambil oleh dinas terkait belum cukup optimal, terutama dalam upaya pencegahan di akar rumput.

“DP3AKB seharusnya tidak hanya mencatat kasus dan memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak, tetapi juga mengambil langkah nyata untuk pencegahan. Sosialisasi mengenai kekerasan dan perlindungan terhadap anak harus merata di semua pelosok Halmahera Selatan. Yang saya lihat, banyak kasus terjadi di desa-desa pelosok, dan ini menunjukkan bahwa jangkauan DP3AKB belum mencapai akar rumput,” tegasnya.

Dini mendesak penegakan hukum yang lebih tegas terhadap para pelaku kekerasan seksual. Ia juga mengingatkan pentingnya edukasi masyarakat, terutama di wilayah pedesaan, agar kasus serupa dapat dicegah di masa depan.

Kasus kekerasan seksual di Halmahera Selatan memang menjadi perhatian banyak pihak. Data menunjukkan tren peningkatan jumlah kasus setiap tahunnya, namun langkah-langkah konkret untuk menekan angka tersebut masih dirasa belum maksimal. Dini berharap agar kolaborasi antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat dapat segera diwujudkan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak di Halmahera Selatan. (Red)

 

HALSEL,Malutline – Dugaan praktik penyalahgunaan wewenang mencuat di lingkungan kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Alkhairaat (STAIA) Labuha, Kabupaten Halmahera Selatan. Kepala Bank Syariah Indonesia (BSI) Cabang Labuha dan Rektor STAIA diduga bekerja sama mencairkan anggaran beasiswa tanpa melibatkan bendahara kampus, yang seharusnya memegang kendali administrasi keuangan.

Menurut informasi yang dihimpun, dana beasiswa yang seharusnya dikelola untuk mendukung mahasiswa berprestasi dan kurang mampu diduga telah dicairkan oleh pihak rektorat dengan bantuan kepala bank. Proses pencairan ini dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan bendahara kampus, yang secara prosedur bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan institusi pendidikan tersebut.

Pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini adalah Rektor STAIA Alkhairaat Labuha dan Kepala BSI Cabang Labuha. Keduanya disebut-sebut telah bersepakat untuk memproses pencairan anggaran beasiswa melalui jalur yang tidak semestinya, sehingga menimbulkan kecurigaan terkait kemungkinan adanya penyalahgunaan dana tersebut.

Dugaan praktik ini berlangsung di STAIA Alkhairaat Labuha, yang berlokasi di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Hingga saat ini, waktu pasti pencairan dana belum dapat dipastikan, namun laporan mencuat setelah adanya keluhan dari beberapa pihak internal kampus terkait pengelolaan dana yang tidak transparan.

Diduga, motif utama dari tindakan tersebut adalah untuk memanfaatkan dana beasiswa secara tidak sah. Dana yang seharusnya diperuntukkan bagi mahasiswa berprestasi dan kurang mampu menjadi rawan penyalahgunaan akibat lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap pengelolaan keuangan di kampus.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari kedua belah pihak terkait tudingan tersebut. Namun, sejumlah pihak internal kampus mendesak agar kasus ini segera diusut tuntas demi menjaga integritas institusi dan menjamin hak-hak mahasiswa penerima beasiswa.

Pihak berwenang, termasuk aparat penegak hukum, diharapkan turun tangan untuk menyelidiki dugaan ini. Selain itu, diperlukan langkah-langkah tegas untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana di STAIA Alkhairaat Labuha. Mahasiswa dan masyarakat umum juga diharapkan terus memantau perkembangan kasus ini sebagai bentuk kontrol sosial. (Red)

Muat Lagi Berita