HALSEL,Malutline – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Halmahera Selatan, Salma Samad, angkat bicara terkait dugaan pelanggaran tarif psikotes bagi peserta yang mengikuti tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dugaan pungutan liar (pungli) ini telah menjadi perhatian serius setelah tarif psikotes yang seharusnya Rp125.000, sesuai Peraturan Daerah (Perda), melonjak hingga Rp500.000.

“Kami akan mengevaluasi pelaksanaan tes yang dilakukan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HiPMsi) untuk memastikan mereka mematuhi peraturan. Jika ditemukan pelanggaran, kami tidak akan ragu mengambil tindakan tegas,” ujar Salma dalam keterangannya, Senin (13/1).

Selain itu, tarif untuk tes jasmani yang dilakukan oleh Rumah Sakit Umum (RSU) Labuha dinyatakan masih sesuai dengan Perda, yaitu Rp30.000. Namun, ketidaksesuaian tarif psikotes yang signifikan ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran aturan yang berlaku.

“Tarif Rp500.000 untuk psikotes jelas melanggar aturan. Ini akan kami selidiki lebih lanjut,” tegas Salma.

Tidak hanya itu, dugaan pungli juga muncul di sektor lain. Sejumlah bidan mengaku harus membayar Rp320.000 per tahun melalui organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI) untuk mendapatkan rekomendasi Surat Izin Praktek Bidan (SIPB). Salah seorang bidan yang enggan disebutkan namanya menyatakan, pembayaran tersebut tidak transparan, sehingga menimbulkan kecurigaan akan legalitas dan peruntukan dana tersebut.

“Dana Rp320.000 ini sudah lama dikutip tanpa kejelasan untuk apa dan ke mana uang ini dialokasikan,” ungkap salah satu bidan.

Praktek serupa juga ditemukan di Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang diduga memungut tarif yang sama untuk keperluan serupa. Hal ini menimbulkan keresahan, mengingat pungutan tersebut melanggar Perda yang sudah mengatur tarif resmi.

Salma Samad menekankan pentingnya penindakan tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan pungutan tidak sesuai aturan. “Kami tidak akan membiarkan praktek ini berlangsung terus-menerus. Semua pungutan harus sesuai dengan Perda agar tidak memberatkan masyarakat,” kata Salma.

Dugaan pungli ini akan segera dibahas oleh DPRD Kabupaten Halmahera Selatan untuk mencari solusi yang adil bagi semua pihak, serta memastikan transparansi dalam pelaksanaan aturan dan pengelolaan dana. Langkah ini diharapkan mampu memberikan keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan serta organisasi profesi.(Red)

HALBAR,Malutline – Dalam era keterbukaan informasi dan transparansi, pejabat publik dihadapkan pada tuntutan untuk merespons kritik dan keluhan masyarakat secara bijaksana. Namun, insiden yang melibatkan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Halmahera Barat, Demisius O. Boky, mengundang perhatian luas. Diduga, sang pejabat memukul seorang warga yang memprotes kelangkaan minyak tanah, sebuah tindakan yang memicu pertanyaan serius tentang tanggung jawab dan etika pejabat publik.

Insiden terjadi pada 8 Januari 2025, ketika Demisius O. Boky diduga memukul seorang warga bernama Hardi yang sedang memprotes kelangkaan minyak tanah di daerah tersebut. Hardi, bersama beberapa warga lainnya, mengeluhkan harga minyak tanah yang meroket hingga Rp9.000–Rp10.000 per liter. Protes yang awalnya berlangsung damai berakhir ricuh setelah aksi pemukulan, yang videonya viral di media sosial.

Kasus ini melibatkan Hardi sebagai warga yang menyuarakan keresahan masyarakat dan Demisius O. Boky sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas distribusi bahan pokok di wilayah itu. Reaksi keras masyarakat terhadap tindakan ini menunjukkan sensitivitas publik terhadap perilaku pejabat yang dianggap tidak pantas.

Tindakan kekerasan oleh pejabat publik tidak hanya melanggar etika profesi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai pelayan masyarakat, pejabat publik memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk merespons kritik dengan sikap konstruktif, bukan represif.

Kejadian berlangsung di Halmahera Barat, Maluku Utara, pada 8 Januari 2025. Video insiden tersebut langsung menyebar luas, memicu diskusi hangat di berbagai platform media sosial.

Menghadapi kritik memerlukan pendekatan berbasis dialog dan solusi. Pejabat publik harus bersikap terbuka, mendengarkan keluhan dengan empati, serta memberikan penjelasan yang masuk akal terkait kebijakan yang diambil. Tindakan represif, seperti kekerasan, hanya memperburuk hubungan antara pemerintah dan masyarakat.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pejabat publik. Transparansi dalam penyelesaian kasus dan penegakan hukum yang tegas harus dilakukan untuk memastikan keadilan. Pemerintah daerah perlu mengkaji ulang prosedur dan standar etik pejabat agar insiden serupa tidak terulang di masa depan.

Insiden ini menegaskan pentingnya penguatan etika dan profesionalisme dalam pelayanan publik. Pejabat publik harus selalu ingat bahwa mereka adalah pelayan rakyat yang tugas utamanya adalah mendengarkan, memahami, dan mencari solusi bagi kepentingan bersama.(Red)

HALSEL,Malutline – Proyek pembangunan sekolah unggulan di Desa Hidayat, Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, yang dimulai sejak awal tahun 2024, hingga kini masih belum selesai. Memasuki tahun 2025, progres pekerjaan proyek tersebut bahkan tidak mencapai 60 persen dan dinilai mangkrak.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Halmahera Selatan mendesak Dinas Pendidikan (Diknas) untuk segera memutus kontrak kerja dengan pihak kontraktor yang dinilai tidak mampu menyelesaikan proyek tersebut. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD sementara, Safri Talib, saat ditemui di Kantor DPRD, Selasa (7/1).

“Kita sarankan Diknas melakukan pemutusan kontrak, karena pekerjaan ini tidak tuntas. Ini anggaran besar, tapi hasilnya mengecewakan,” ujar Safri.

Safri menjelaskan, proyek pembangunan sekolah unggulan tersebut telah dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama pada tahun 2023 telah selesai, namun pada tahun 2024, meskipun anggaran sebesar Rp35 miliar telah dialokasikan, pekerjaan tahap kedua tidak menunjukkan progres yang signifikan. “Kami akan menelusuri proses pekerjaan ini untuk mengetahui di mana letak masalahnya,” tambahnya.

Sebagai politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Safri juga menyarankan agar laporan progres pekerjaan segera dikonfirmasi ke Komisi I DPRD, yang merupakan mitra dari Dinas Pendidikan. “Soal pendidikan adalah ranah Komisi I. Bisa jadi mereka sudah menerima laporan terkait progres pekerjaan,” imbuhnya.

Berdasarkan pantauan wartawan di lapangan, pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT. Citra Putera Lateran terlihat terbengkalai. Dugaan muncul bahwa Dinas Pendidikan kurang melakukan pengawasan selama proses pengerjaan. Proyek yang seharusnya diselesaikan dalam 180 hari kalender sejak dimulai, kini memasuki tahun kedua tanpa tanda-tanda penyelesaian.

Masyarakat setempat mengeluhkan kondisi ini karena sekolah unggulan yang diharapkan dapat menjadi solusi pendidikan berkualitas di daerah tersebut justru menjadi proyek mangkrak. “Kami sangat kecewa. Sekolah ini diharapkan menjadi kebanggaan kami, tapi kenyataannya malah begini,” keluh salah satu warga Desa Hidayat.

DPRD Halmahera Selatan menegaskan akan segera memanggil pihak terkait untuk mengusut tuntas permasalahan ini. Mereka juga meminta transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran, mengingat nilai proyek mencapai Rp35 miliar.

Proyek sekolah unggulan ini diharapkan mampu memberikan dampak positif pada kualitas pendidikan di Halmahera Selatan. Namun, dengan kondisi yang terjadi saat ini, pihak terkait diharapkan segera mengambil langkah tegas agar proyek dapat kembali berjalan sesuai dengan perencanaan.(Red)

Halsel,Malutline – Rekrutmen Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) menuai sorotan. Pasalnya, banyak peserta yang dinyatakan lolos meski tidak memiliki Surat Keputusan (SK) terakhir sebagai bukti pengabdian. Hal ini memicu kekhawatiran akan potensi kecurangan dalam proses seleksi.

Berdasarkan laporan masyarakat, terdapat sejumlah peserta yang berhenti dari status honor selama bertahun-tahun namun tetap mengikuti tes tanpa melampirkan SK terakhir. Bahkan, beberapa dari mereka dinyatakan lolos seleksi gelombang kedua. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang validitas data dan kelengkapan dokumen peserta.

Tidak hanya satu atau dua nama, banyak peserta diduga tidak memenuhi syarat administrasi. Bahkan, nama-nama yang seharusnya tidak lagi aktif sebagai tenaga honor turut diangkat sebagai isu utama. Salah satu kasus yang disorot adalah Alwi Alhadad, namun diketahui bukan hanya dia yang menghadapi permasalahan serupa.

Proses rekrutmen gelombang kedua berlangsung di Halsel dalam beberapa bulan terakhir. BKD sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas seleksi ini berada dalam tekanan untuk meninjau ulang prosedur seleksi agar lebih ketat.

Ketidakhadiran SK terakhir dari peserta seleksi dianggap membuka peluang kecurangan, seperti manipulasi data atau rekomendasi yang tidak berdasar dari kepala dinas atau kepala sekolah. Padahal, SK terakhir merupakan bukti sah masa pengabdian seorang tenaga honor. Tanpa dokumen tersebut, sulit memastikan bahwa peserta benar-benar memenuhi syarat.

Masyarakat dan pemerhati meminta BKD untuk memperketat proses verifikasi. SK terakhir harus menjadi syarat mutlak dalam seleksi. Dengan SK tersebut, BKD dapat mengetahui masa pengabdian, jeda waktu pemberhentian, dan keaktifan peserta sebagai tenaga honor.

Selain itu, perlu dilakukan audit terhadap seluruh peserta yang lolos pada gelombang kedua. Jika ditemukan peserta tanpa SK atau yang tidak aktif selama bertahun-tahun, maka hasil seleksi mereka harus dievaluasi ulang.

BKD diharapkan segera mengambil langkah konkret dengan melakukan validasi ulang dokumen peserta. Transparansi dalam proses ini sangat diperlukan untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap rekrutmen PTT di Halsel. Selain itu, sistem pengawasan yang lebih baik perlu diterapkan agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang. (Red)

Halsel, Malutline – Polemik seputar rekrutmen Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Sekretariat DPRD Halmahera Selatan (Halsel) kembali memanas. Nama Alwi Alhadad menjadi sorotan setelah ia diduga berhasil masuk daftar pegawai tetap, meskipun telah berhenti bekerja sebagai tenaga honor di Kantor Camat Kayoa Induk Kecamatan Kayoa sejak hampir tujuh tahun lalu.

Alwi Alhadad diketahui pernah bekerja sebagai tenaga honor di Kantor Camat Kayoa Induk. Namun, menurut sumber terpercaya di kantor tersebut, ia berhenti bekerja sejak tujuh tahun yang lalu. Hingga baru-baru ini, namanya mencuat kembali setelah diduga lulus sebagai pegawai tetap di Sekretariat DPRD Halsel.

Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa Alwi berhasil mengalahkan beberapa pegawai yang telah lama bekerja konsisten di Sekretariat DPRD Halsel. Kondisi ini memicu kekecewaan di kalangan pegawai, terutama mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi tetapi belum diangkat sebagai pegawai tetap.

Proses rekrutmen yang meloloskan Alwi menimbulkan berbagai pertanyaan. Banyak pihak mempertanyakan dasar dan mekanisme penilaian yang digunakan. “Kami merasa kecewa karena ada pegawai yang telah bekerja lama, tetapi justru orang yang sudah lama tidak aktif diinstansi pemerintah yang diloloskan,” ujar salah seorang pegawai yang enggan disebutkan namanya.

Proses rekrutmen ini dilaporkan terjadi pada akhir tahun 2024. Namun, polemiknya baru mencuat awal 2025 setelah nama Alwi masuk dalam daftar pegawai tetap.

Kasus ini berpusat pada Sekretariat DPRD Halsel, Maluku Utara, dengan sorotan tambahan terkait latar belakang Alwi yang sebelumnya bekerja di Kantor Camat Kayoa Utara.

Hingga saat ini, pihak Sekretariat DPRD Halsel belum memberikan pernyataan resmi terkait dugaan pelanggaran dalam proses rekrutmen tersebut. Di sisi lain, sejumlah pegawai meminta adanya evaluasi menyeluruh terhadap proses seleksi dan transparansi dalam pengangkatan pegawai tetap.

Polemik ini menjadi ujian serius bagi manajemen kepegawaian di lingkungan DPRD Halsel, khususnya dalam menjamin proses seleksi yang adil dan transparan. Masyarakat berharap adanya klarifikasi resmi serta langkah-langkah untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. (Red)

Muat Lagi Berita