malutline.com – Sejak awal, hukum seharusnya menjadi fondasi bagi masyarakat yang adil dan sejahtera. Namun, dalam praktiknya, esensi hukum sering kali terabaikan, terutama ketika hukum menjadi alat kepentingan kekuasaan. Ketidakseimbangan antara pihak yang kuat dan lemah menjadi tantangan serius dalam menegakkan asas keadilan yang murni.

Jika hukum dipandang sebagai peraturan yang berlandaskan keadilan, maka asas keadilan itu sendiri harus ditegakkan tanpa memihak. Namun, dalam kenyataannya, kekuasaan sering kali memiliki kemampuan untuk membelokkan jalannya hukum. Dalam sistem hukum modern, mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi sering diberi tatanan yuridis yang memungkinkan mereka menciptakan pengecualian atau bahkan membatalkan validitas hukum yang berlaku.

Hal ini menciptakan paradoks. Orang yang kuat, karena memiliki pengaruh dan sumber daya, mampu mengubah hukum menjadi alat yang melindungi kepentingan mereka. Sementara itu, pihak yang lemah tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan yang sebenarnya. Ketimpangan ini mencerminkan pergeseran hukum dari alat keadilan menjadi instrumen kekuasaan.

Kasus-kasus nyata yang mencerminkan ketimpangan hukum dapat ditemukan dalam perbandingan kasus korupsi yang melibatkan Hervey Moesis dan kasus nenek Asyani. Hervey Moesis, yang terbukti merugikan negara hingga Rp 300 triliun, hanya divonis 6,5 tahun penjara. Sebaliknya, nenek Asyani yang mencuri tujuh batang kayu jati karena kebutuhan mendesak harus menjalani hukuman lima tahun penjara.

Jika ditinjau secara objektif, kerugian negara yang ditimbulkan oleh Hervey Moesis jauh lebih besar dibandingkan dengan perbuatan nenek Asyani. Namun, perbedaan perlakuan hukum ini mencerminkan bias sistem hukum terhadap mereka yang memiliki kekuasaan atau sumber daya.

Ketimpangan hukum semacam ini tidak hanya mencederai rasa keadilan masyarakat, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Menurut hemat saya, hukum semestinya tidak memandang siapa yang memiliki kekuasaan atau harta. Asas keadilan harus menjadi landasan utama yang dipegang teguh dalam setiap keputusan hukum.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan beberapa langkah konkret: Pertama, Sistem hukum harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak ada celah bagi kekuasaan untuk mempengaruhi putusan hukum. Kedua Penegak hukum harus memiliki integritas yang tinggi dan bebas dari tekanan pihak manapun. Ketiga Masyarakat harus diberdayakan dengan pemahaman tentang keadilan dan hak asasi manusia agar dapat mengawasi jalannya hukum.

Hukum seharusnya menjadi alat untuk menegakkan keadilan, bukan untuk melayani kepentingan kekuasaan. Ketimpangan antara pihak yang kuat dan lemah di mata hukum mencerminkan perlunya reformasi yang mendalam. Hanya dengan menegakkan asas keadilan secara murni, kita dapat menciptakan masyarakat yang benar-benar adil dan sejahtera. (Ismit)

Malutline – Teropong arena duel pertarungan politik regional dalam kontestasi demokrasi yang akan berlangsung pada 27 November 2024, intelektual organik perlu menakar secara selektif, dalam rangka mengantispasi kandidat Gubernur yang di pasang sebagai Bandit-Bandit tambang dalam pusaran elit Nasional dan oligarki yang akan menjadi pengendali.

Tentu kaum intelektual muda Maluku Utara yang memiliki taraf pengetahuan yang luas suda harusnya mengfungsikan nalar kritis ditengah ada problem blok tambang yang tidak hanya sekedar menjadi target korupsi masal belaka, tetapi juga ada indikasi kuat konspirasi yang terselebung dengan amksud menguasai sektor tambang di Maluku Utara.

Maluku Utara secara Nasional adalah dapur Global yang mana saat ini bisa disebut sebagai primadona yang di sasar, hal ini bisa dilihat dari laporan Global 2023, data survei geologi America serikat yang menyebut Posisi Indonesia begitu strategis yang artinya memungkinkan Maluku Utara akan di incer sebab, Sumber daya alam berlimpah, ini tentu beralasan kuat bahwa indonesia adalah wilaya memiliki cadangan niker terbesar didunia.

Mayoritas Terdapat di Indonesia salasatu wilaya yang memiliki kontribusi terhadap Negara didalam sektor tambang adalah Maluku Utara, kita ingin kemudian mengatakan dengan tegas, ada ancaman serius dalam aspek pencemaran lingkungan yang bebahaya bagi kehidupan rakyat di Maluku Utara.

Hal ini tentu menjadi tantangan bagi kandidat Gubernur Maluku Utara, agar tidak sekedar merai kursi kekuasaan daerah sebagai Gubernur, tetapi minimal ada alternatif solusi yang kongkrit, yang mana tidak hanya sekedar fokus dalam aspek pemanfaat sumber daya alam pada lingkup kesejateraan rakyat wilaya lingkar tambang atau pada umumnya Maluku Utara, sebab jika aspek kualitas kesejateraan saja, itu suda menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah daerah.

tetapi yang kita maksud yaitu bagaiamana calon gubernur yang kelak terpilih dapat menyediakan terobosan dengan gagasan kongkrit untuk menjawab problem yang paling vital dengan sentuhan kebijakan prioritas pada aspek dampak lingkungan yang berpotensi merusak kelestarian alam di sekitar lingkungan kehidupan sosial masyarakat.

“Saya kira stabilitas lingkungan sangat diperlukan, ditengah blok tambang di Halmahera secara umum menjadi gempuran oligarki”.

Sediki mengutip seoarang Filsuf Andre Gorz yang merupakan salah satu pelopor ekologi politik di Prancis, toh pernah memberi alaram dengan catatan yang logis, dimana Negara dapat mengeksploitasi keadaan darurat lingkungan untuk memperkuat kekuasaannya dengan menciptakan lembaga-lembaga dan pembatasan-pembatasan yang dikendalikan oleh para ahli. “Hal ini memilki korelasi fakta yang terjadi di Maluku Utara, dimana kita telah menyaksikan mencemaran lingkungan yang negitu agresif, apalagi ketika sahnya UU Omnibuslaw pemerintah pusat telah membajak kebijakan dalam polarisasi pengangkangan, hingga desentralisasi tidak ada artinya, arah kebijakan sentralistik saat ini sama halnya telah membuat adanya pembatasan otoritas kepala daerah yang mana memperlihatkan praktek monopoli kebijakan dilanggengkan.

Poinya ingin kita katakan bahwa, intelektual kritis muda Maluku Utara perlu menjejaki kompetitor Gubernur Maluku Utara secara selektif, sehingga pada 27 November 2024 dapat memberikan hak pilih pada siapa yang layak, kita wajib menduga adanya geng-geng tambang yang di pasang sebagai bandit-bandit Nasional dan oligarki, yang mana hanya berfikir untung menggadaikan Negeri Maluku Kie Raha tanpa mempertimbangkan dampak pergeseran kultur akibat pencemaran lingkungan.

Jika dulu pernah ada Thomas Malthus, Jean Baptiste Fourie dan Henry David Thoreau pada abad 18 sebagai para filsuf yang memiliki kesadaran membangun gerakan perlindungan alam, kenapa tidak saat ini kita gemakaan kembali di Negeri Maluku Utara tentang kelestarian alam.

Suda cukup problem korupsi besar-besaran menggurita pada sektor tambang dalam konteks mafia perizinan, bahkan menyeret beberapa pihak suwasta dan Eks Gubernur Maluku Utara, itu artinya sektor tambang perusahaan ekstraktif begitu menjanjikan yang kapan saja bisa membuat pemangku kebijakan daerah terlena.

Ada temuan melaui Global Sustainability Study 2021 yang menarik dikutip, sebuah survei dengan 10.281 responden dari 17 negara, menunjukkan bahwa 78% responden merasa bahwa keberlanjutan lingkungan itu penting, hal ini memberi tanda kerusakan lingkungan adalah ancaman serius bagi kehidupan manusia.

Kita tidak menolak adanya tambang sebagai bagian dari keuntungan Negara, daerah yang berfungsi untuk mensejaterakan rakyat, akan tetapi kita tidak ingin abdi Negara dan daerah hanya berfikir keutungan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan yang meyebabkan ruang hidup rakyat tersingkirkan. (**)

Penulis : Hajirin Radja

Ketika saya masih SD sampai dengan SMA, kondisi kehidupan masyarakat begitu bersahaja. Situasi kehidupan sosial politik masyarakat saat itu tidak seperti kondisi saat ini.

Politik saat itu tidaklah semeriah apa ang kita lihat saat ini. Eforia pemilu lima tahun sekali hanya ramai menjelang pelaksanaan pemilihan saja. Setelah ada hasil pemilu dan pemilihan presiden , sudah tidak lagi ada cerita di sepanjang malam membahas politik. Orang-orang fokus dengan urusannya masing-masing, jika petani ia sibuk mengurusi kebunnya jika dia nelayan, ia sibuk dengan pekerjaan melautnya. Para pegawai, polisi, tentara, karyawan perusahaan bahkan sampai pada politisi sibuk dengan tugasnya masing-masing.

Hari ini kondisi itu tidak terasa lagi. Jika dulu, telivisi menyiarkan berita tentang kerja-kerja para menteri dalam program yang telah dirancang dan direncanakan bersama dengan presiden. Maka kita tidak mendengar ada berita seorang pejabat ditangkap gara-gara korupsi. Atau berita tentang riuh rendahnya politik di daerah yang memenuhi layar televisi kita. Sama sekali tidak terlihat itu. Yang ada adalah tayangan program yang telah disusun mulai dari urusan pertanian sampai urusan pendidikan.

Hari ini berita televisi sepanjang hari banyak memuat tentang urusan politik, korupsi dan kriminal.

Politik saat ini seperti candu. Ia telah membuat banyak orang menjadi ketagihan. Rasanya tidak enak duduk² kalau tidak  membahas politik. Sampai² kecanduan itu hampir saja membuat putus hubungan silaturahmi antar sesama manusia.

Bagaimana tidak, bila tiba musim pilkada maka memunculkan sekat-sekat diantara masyarakat akibat dari beda pendapat dan beda pilihan. Bahkan tidak jarang candu politik ini memunculkan fitnah ditengah-tengah masyarakat hanya sekedar memuluskan calon yang akan diusung. Urusan pribadi dan keluarga dari masing-masing calon telah menjadi konsumsi publik. Bahkan tak jarang candu politik ini memperhadapkan antar sesama saudara untuk maju bertarung merebut hati rakyat. Kondisi ini memunculkan polemik ditengah masyarakat yang mendukung  diantara para calon itu. Pilkada benar-benar kini telah menjadi candu.

Candu politik  bisa jadi membuatmu bertengkar dengan saudara, berseteru dengan guru, bermusuhan dengan kawan, dan berjauhan dengan tetangga. Pengaruhnya (memabukkan) lebih berbahaya daripada narkotika.

Candu politik  membuat orang memilih Calon Kepala Daerah yang (aslinya) tidak terlalu engkau kenali lebih engkau utamakan dan engkau bela daripada sahabat dan handai taulan. Ia telah membuat mabuk hingga hilang kesadaran.

Candu politik membuat setiap orang melewati hari, dimana akal dan pikiran hanya terfokus dan terforsir untuk urusan pilkada, seolah-olah itulah masalah utama hidup ini. Ia bahkan bisa membuat orang lupa tuhan dan menjauh dari agama.

Candu politik telah meracuni pikiran orang sehingga sibuk  berinteraksi dengan manusia, mencari penggalangan dukungan dan suara. Efek candunya bisa membuat sulit hidup apa adanya di tengah masyarakat.

Candu politik membuat orang begitu semangat membelanjakan uangnya untuk pemenangan pemilu, bahkan menganggap hal itu adalah bagian daripada infaq fii sabilillah.

Bahkan candu poitik membuat orang bereforia merayakan kemenangan calon  bak kemenangan di medan peperangan yang maha dahsyat. orang lupa diri kala mendengar hasil pengumuman karena sedang mabuk politik.

Jika candu ini tetap terpelihara dengan baik dalam hati, maka sampai kapan kita melihat ada kemajuan dan perubahan.

Maka tiada jalan yang baik selain Basuhlah wajahmu dengan air wudhu agar terbuka matamu bahwa politik itu tidak jauh dari rebutan jabatan dan kekuasaan an sich. Melainkan ladang untuk berbuat kebaikan.

Menguak Kebenaran Sumpah Pemuda  (Catatan Singkat Kontroversi Sejarah)

Sumpah Kita Adalah Satu
Kepalkan Tangan dan Maju
Jangan Sungkan Untuk Melawan Musuh
Karena Ulah Mereka Negara Jadi Rusuh
(Ismit G.Abdullah)

28 Oktober 1928 merupakan peringatan dalam upaya meyatukan gagasan serta gerakan kaum muda untuk melepas mata rantai kolonialisme, sehingga peringatan ini sebut sebagai “sumpah pemuda”.

Tepat pada tanggal 27-28 Oktober 1928  diselengarakan suatu agenda yang membahas berbagai macam problem di bangsa ini, dan pembahasan demikian diawali dengan semangat nasionalisme, bahasa, hukum adat, pendidikan dan lain sebagainya, sehingga hal itu menjadi instrumen yang diperingati pada setiap momentum.

Pada setiap tanggal 28 Oktober dari Sabang sampai Merauke memperingati hari “Sumpah Pemuda” dan dianggap sebagai suatu momentum berharga untuk menyerukan persatuan bangsa Indonesia dengan samangat nasionalisme.

Dalam sejarah justru istilah “Sumpah Pemuda” menjadi perdebatan dikalangan sejarawan, sementara kita hanya memperingati Sumpah Pemuda tetapi mengabaikan kebenaranya, alhasil semua itu kita anggap sebagai simbol pada saat diperingati hari Sumpah Pemuda. Istilah “Sumpah Pemuda” yang diperdebatkan para sejarawan seperti J.J. Rizal dan Batara Richard Hutagalung, bahwa istilah itu tidak pernah ditemui dalam teks asli yang dihasilkan pada Kongres II yang diselenggrakakan di Jakarta pada tahun 1928. Sehingga mereka mempertanyakan atas kevalidan peristiwa “Sumpah” yang sebenarnya,mereka menyebutnya “Putusan Kongres” yang tidak memiliki ikrar resmi. Kalau pun demikian mengapa kita dengan gagah berani memperingati makna ikrar yang tak resmi itu?

Menguak Kongres Pemuda ke II 1928

Sekalipun dalam Kongres Pemuda ke II dapat menghasilkan sebuah keputusan resmi yang disebut sebagai “Poetoesan Congres Pomoeda-Pomoeda Indonesia” yang menghasilkan tiga deklarasi diantaranya adalah, tentang tanah, bangsa, dan bahasa. Melalui sebuah tullisan dari media Titastory yang berjudul “Kontroversi Sumpah Pemuda Sejarah Yang Diperdebatkan Sejarawan” bahwa dokumen yang tersimpan di Museum Sumpah Pemuda di Jakarta, terkait sebuah deklarasi itu yang menggunakan kata “mengakui” dan “menjunjung” sebagai bentuk kesepakatan atas gagasan kesatuan. Tidak ada kata “sumpah” atau “janji” yang kuat yang mengisyaratkan pengikatan diri sebagaimana yang dipahami dalam istilah “Sumpah Pemuda”.

Melalui sebuah rekonstruksi “Sumpah Pemuda” oleh Muhammad Yamin yang dianggap sebagai rekayasa ideologis, yang mengundang banyak kritikan para sejarawan. Muhammad Yamin adalah seorang tokoh sekaligus kunci dalam sejarah kemerdekaan yang dianggap sebagai aristek pengangkatan istilah “Sumpah Pemuda” juga Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet Ali Sastroamijoyo. Yamin kemudian memberi nama “Putusan Kongres Pemuda” sebagai “Sumpah Indonesia Raya” yang kemudian bergeser menjadi “Sumpah Pemuda”

Lalu apa yang menjadi kontroversi pada istilah “Sumpah Pemuda” para sejarawan menganggap atas rekonstruksi Muhammad Yamin merupakan rekayasa ideologis untuk memperkuat rasa kebangsaan  Indonesia. Rekayasa yang dimaksud atas istilah “Sumpah Pemuda” tersebut adalah karena tidak pernah ditemui dalam dokumen asli pada Putusan Kongres Pemuda II di Jakarta tahun 1928, yang kemudian menjadi kotroversi dikalangan sejarawan.

Olehnya itu ada sebuah artikel yang ditulis Apituley yang mencakup kritik tajam oleh sejumlah sejarawan terhadap konsep “Sumpah Pemuda” dalam tulisan itu diungkapkan bahwa istilah tersebut merupakan rekayasa yang tidak tercatum dalam dokumen asli Putusan Kogres Pemuda II, dan itu hasil pertemuan dalam sejarah tepat pada 27-28 Oktober 1928 yang dihadiri berbagai organisasi pemuda. Hal ini juga diungkapkan oleh J.J. Rizal, Batara Richard Hutagalung, dan Ichwan Azhari bahwa Sumpah Pemuda sebenarnya muncul sebagai narasi simbolik belaka atas inisiatif Muhammad Yamin. Yamin, dengan restu Soekarno yang kemudian dianggap mempopulerkan konsep tersebut untuk memperkuat nasionalisme Indonesia pasca-kemerdekaan.

Kalaupun alasanya bahwa konsep “Sumpah Pemuda” merupakan sebuah upaya agar memperkuat rasa nasionalisme, harusnya berdasarkan pada keputusan yang diputuskan dalam Kogres ke II, sehingga istilah itupun tidak hanya menjadi narasi simbolik semata tetapi menjadi narasi sejuta makna. Namun yang terjadi justru menuai banyak kritikan oleh para sejarawan.

Kemudian, jika konsep “Sumpah Pemuda” merupakan narasi simbolik, maka peran bahasa dan simbolik menjadi kekuasaan, sehingga makna pembenaran yang terkandung dalam teks pun tidak dipahami dengan jelas oleh generasi hari ini.

Menurut hemat saya selain kritikan tajam diatas, bahwa dibalik pembentukan Organisasi Boedi Uetomo 1908-1928 yang merupakan sentral penuntut kemerdekaan Indonesia, menyimpan banyak keanehan. 1928 menurut Mr.A.K.Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia bahwa Boedi Oetomo menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia, walaupun sampai dengan kongres tersebut, karena Boedi Oetomo lebih merpertahankan Djawanisme ketimbang persatuan. Itu artinya bahwa Sumpah Pemuda merupakan rekayasa juga bukan penuntut kemerdekaan Indonesia. Lalu apa yang dibanggakan pada 28 Oktober 1928? Boedi Oetomo saja dibubarkan oleh Dr.Soetomo sendiri pada tahun 1931 karena tidak sejalan dengan tuntutan zamanya, persoalnya adalah ajaran Kedjawean atau Djawanisme dipertahankan dalam Boedi Oetomo. Bahkan Boedi Oetomo juga berani menghina Rasulullah Saw. Tetapi tetap saja diperingati dan dihormati.

Saya berharap agar kiranya catatan singkat ini menjadi refleksi sejarah, agar kita menjelajah kembali dalam sejarah untuk menguak kebenaran yang disembunyikan.

 

Referensi :

Titastory.id : Kontroversi Sumpah Pemuda Sejarah Yang Diperdebatkan Sejarawan.

J.J. Rizal : Melawan Lupa, Sumpah Pemuda Kebohongan Besar.

Mr.A.K.Pringgodigdo : Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.

Amad Mansur Suryanegara : Api Sejarah Jilid I.

Oleh : Ismit G.Abdullah

Dalam setiap wacana politik yang dibahas tentang perubahan masyarakat adil dan sejahtera, tapi pada realitasnya tidak ada perubahan yang ada hanyalah memperpanjang garis pembodohan dan ketidakadilan, mengapa demikian?. Karena secara teoritis politik merupakan suatu pemikiran yang mempertahankan kekuasaan, sehingga kepentingan rakyat sering diabaikan lalu komunitas elit politik diutamakan.

Menurut Niccolo Machiavelli dalam bukunya tentang “Sang Pangeran” bahwa sumber kekuasaan adalah negara, oleh karena itu negara memiliki kedaulatanfoto dan kedudukan tertinggi dengan kekuasaanya yang bersandar pada pengalaman manusia.

Dalam pemikiranya, sifat alamiah manusia sangat kontradiktif dengan prinsip humanis, sehingga Kekuasaan memiliki otonomi terpisah dari nilai moral. Olehnya itu kekuasaan tidak membutuhkan moralitas, maka kekuasaan bukanlah alat untuk mengabdi pada kebajikan, keadilan dan kebebasan dari Tuhan, melainkan kekuasaan sebagai alat untuk mengabdi pada kepentingan Negara.

Hemat penulis, Kepentingan Negara hanyalah bergulat pada ruang lingkup Istana the prince, tidak sampai pada totalitas kepentingan rakyat, karena dengan otoritas kekuasaanya dapat mengatur seluruh sistem pengaturan yang ada dalam Negara. Dengan demikian kepentingan kekuasaan itu telah dicapai, maka selanjutnya upaya untuk mempertahankan status quo sebagai penguasa/raja.

Menurut Nietzsche dalam bukunya Der Wille Zur Macht (The Will To Power), Hakekat kekuasaan yang dimengerti oleh Nietzsche adalah pedoman dan ukuran yang menentukan hidup manusia dalam segala bidang. Egalitarisme pun dilatarbelakangi oleh motif kekuasaan.

Kemudian Kekuasaan dalam pandangan Nietzsche merupakan dasar dan pendorong bagi seluruh tindakan manusia, termasuk tindakan baik yang dilakukan seseorang digerakkan oleh kehendak berkuasa. “Menurut Nietzsche kehendak adalah kekuatan yang memerintahkan tanpa mengandaikan suatu satbilitas/pasivitas.

Dalam pandangan Nietzche demikian, menurut anggapan penulis bahwa Decision Macking pada lingkaran kekuasaan dalam istana the prince itu, harusnya mampuh menjaga kesimbangan dalam tatanan sosial secara totalitas, karena hidup bukan personal yang menurut Aristoteles dalam The Politics Aristotle , bahwa manusia adalah Zoon Politicon. Pada pengertianya adalah manusia merupakan mahluk sosial, mahluk yang selalu berhubungan dengan manusia lainya. Itu artinya bahwa manusia tidak  bisa hidup secara individu.

Lain lagi dengan kekuasaan irasionalitas karena kekuasaan lebih mempertahankan kepentingan personality dan kelompok elit yang tidak punya nilai (morality). Meskipun kita tidak bisa menolak atas kepentingan individu karena manusia tidak bisa dibelah menjadi dua, menurut penulis tentu ini rasional, tetapi rasionalitas secara universal itu amblas akibat arus frekuensi kepentingan untuk berkuasa terlalu kuat, sehingga kemudian rasionalitas itu pun beralih menjadi irasionalitas yang pada akhirnya orientasi politik kekuasaanya benar-benar memuncak dan menguasai manusia serta membawa manusia taat pada pembodohan, ketidakadilan, dan penindasan. Hal ini merupakan kejahatan asimetris dengan kohesinya yang abstraksi.

Muat Lagi Berita